Biarlah Diriku Meminum Air Mata Hujan Penghabisan Dari Cawan Bunga Narsis Dan Mengasihi Hatiku Dengan Suara Burung yang Merdu
Q teguk saat isak tak tertahan dan Di batas senja aku terus menanti
marilah kita luluri angin senja bersama wewangian, dan biarkan kita duduk menikmati harumnya menitii harapan
bibirmu sutra lembut, merah lembayung tersabda penuh aura izinkan aku merajut kidung kata dibibirmu tentu saja nanti aku akan mendengarnya penuh syahdu.
engkau buta dan aku tuli dan lidahku kelu, oleh karenanya mari kita berpegangan tangan dan saling memahami. berilah aku pendengaran, maka aku akan memberimu suara. kahlil gibran.
namamu itu seperti bulan tanpa sayup
sinarnya merekah tanpa saling tangkup,
kudus sampai tertuju ke hatiku,
karena itu aku mencintai namamu
jadi mari siapkan tangan menengadah, dan berdoa abadi selamanya
lewat malam bulan memecah berlalu turun,
mataku mabuk oleh sinarnya, sayup berselimut marun
tetapi tetap kupejalkan waktu dalam mataku,
karena aku tak mau sedikitpun terlewatkan
atas pertunjukan rindu yg kau papar pada langit
jadi mari kita duduk sebentar, nikmati waktu yg sedikit.
nyiur angin melambai kanyutkan gelap,
bulan teriring menuju galih dan terlelap
di sisi yang lain langit mulai berbunga wajahmu
saling berciuman hingga tampak melembayung
jadi mari kita lulurkan sepoi angin, dengan cinta yang tak kenal ujung.
matahari itu menerbitkan indah matamu
putih kudus penuh rahasia dibalik tatapannya
sebab itu aku mencintai matamu
dan biarlah diriku meminum airnya
jadi mari siapkan cawan, biarkan kesedihanmu mengisi hatiku
Hidup itu seperti sungai, menyusuri teeing-tebing, terkadang sulit ditebak kedalamannya, rela menerima segala sampah, dan pada akhirnya berhenti ketika bertemu laut.